Sepasang sepatu
Suatu hari di bulan Agustus, seseorang mengirimi aku sepasang sepatu, tepat ketika aku tengah membutuhkannya. Kukatakan demikian karena sepatu milikku yang beberapa minggu sebelumnya kubeli dari sebuah butik mahal, bagian uppernya sudah mulai retak-retak, mengenaskan.
Kerut-kerut putih yang timbul pada permukaan kulit berwarna hitam pekat, menjadikan kakiku tak nyaman mengenakannya. Semua mata seolah menyipit atau melotot penuh ejekan saat menatap kakiku melangkah ke mana saja, hingga rasanya tubuhku memberat dan ingin sesegera mungkin ambles ke bumi. Pernah aku mengadukan perihal tersebut kepada pelayan butik, tentang betapa jeleknya kualitas sepatu yang harganya hampir setengah juta rupiah itu.
Tetapi aku kembali menelan kekecewaan. Pelayan itu hanya mengangguk-angguk kecil tanpa mengerti harus melakukan apa. “Menyesal kami tidak bisa memuaskan Bapak sebagai pelanggan, tetapi kasus seperti ini memang tidak diatur dalam perjanjian. Kalau Bapak bersedia, bisa membeli lagi sepasang yang baru,” katanya.
Kalimat yang disampaikan dengan lemah lembut itu tetap saja serasa menggempur dada. Jika saja ia bukan pelayan dengan wajah manis sekali, ingin aku mengajarnya seketika. Tapi itulah kelemahanku, selalu saja tak berdaya berhadapan dengan wajah manis, inosen, dan sedikit manja. Perempuan berparas ayu selalu saja membuatku bertingkah laku konyol dan sedikit memalukan. Yang bisa kulakukan hanyalah memarahi diri sendiri menyesali kelemahanku itu.
Dengan perasaan dongkol kubawa pulang kembali sepatu sialan itu, dan segera kulemparkan ke sembarang pojok kamar tanpa pernah mengusiknya lagi. Jadilah, ke mana pun pergi aku hanya mengenakan sandal kulit yang sudah lama kucampakkan. Sebenarnya bisa saja aku membeli sepatu dengan sembarang merk, tetapi itulah, aku tak ingin musibah itu menimpaku lagi. Sepatu berharga mahal saja bisa membuatku kecewa, apalagi sepatu “ebrekan”. Sampai beberapa minggu kemudian, tabunganku masih saja belum cukup untuk membeli sepasang sepatu baru seperti yang kuharapkan. Di sisi lain aku hanya berharap mudah-mudahan sandal usang itu mampu bertahan beberapa waktu lagi, karena seperti kabar burung yang kudengar, semua tukang sol sepatu pada bulan seperti ini pulang kampung untuk panen. Memang tak satu pun tukang sepatu lewat seiring dengan kabar tersebut. Pernah terbesit dalam pikiranku bahwa sebenarnya mereka adalah orang-orang licik yang dengan sengaja menyembunyikan kekayaan yang dimiliki di desa. Tetapi karena hal itu bukan merupakan kesalahan aku pun hanya bisa diam.
Kubaca sekali lagi secarik kertas bertuliskan ucapan selamat ulang tahun yang kuambil dari kardus tempat sepatu. “Mudah-mudahan Agustus tahun ini memberimu kebahagian.” Mula-mula aku memang sempat bertanya-tanya kepada diri sendiri, siapa gerangan orang yang sudah berbaik hati mengirimi aku sepasang sepatu dengan kualitas kulit nomor satu?! Apa maksudnya? Apa ia salah seorang yang selama ini memperhatikan ke mana pun aku pergi hanya dengan mengenakan sandal, dan kemudian menjadi iba hati, lalu mengirimkan sepatu ini? Atau ia seorang pemilik pabrik sepatu yang sedang cuci gudang, lalu membagikan sisa barang gudangnya? Tetapi mengapa hanya aku, bukankah di kampung ini banyak juga yang mengenakan sandal, atau bahkan tak bersepatu dan tak beralas kaki sama sekali? Apa pun alasan si pengirim, rasa-rasanya aku patut bersyukur kepadanya karena seperti yang kukatakan, ia mengirimkannya pada saat yang tepat.
Tatkala perasaan di dadaku sudah sampai pada puncak, aku kenakan sepatu itu dan mematut diri di depan kaca, sambil sesekali kuusir debu pada permukaannya agar sepatu itu tetap tampak mengkilap. Setelah kurasa cukup, kumasukkan kembali sepatu itu ke dalam kardus dan kusimpan di tempat yang cukup aman. Artinya terlindung dari pandangan rekan-rekan satu kos. Maklum, jika melihat benda baru, mereka selalu berebut memakainya lebih dulu tanpa mempertimbangkan perasaan sang pemilik.
***
Sementara itu sudah hampir sebulan aku mengenakan sepatu kiriman entah dari siapa sampai saat ini aku tetap tak tahu. Tak satu pun petunjuk mengatakan kepadaku tentang diri si pengirim. Ia berlalu begitu saja, seolah benar-benar ikhlas dengan pemberiannya itu. Tanpa pamrih, begitu orang biasa menyebutnya. Di kantor atau di mana pun aku berada, sepatu itu telah membuatku makin percaya diri. Dengan gesper putih mengkilat dan potongan dinamis, sepatu itu sepertinya cocok dipadukan dengan pantalon warna apa saja. Dengan kata lain sepatu kiriman itu telah menjebatani duniaku dengan dunia di luar diriku, dan ia pun merupakan kata kunci bagiku untuk pintu yang di baliknya tersaji gelanggang yang sarat dengan tipu daya dan kepalsuan.
Pada tahap ini aku seolah sadar telah terseret pada keadaan yang aku sendiri hendak menolaknya seandainya aku mampu. Sayang, aku tak punya kesempatan membangun keberanian pada saat pengirim sepatu itu datang suatu ketika. Kala itu aku tengah menghabiskan waktu setelah seharian penuh bekerja sebagai sub-kontraktor pada perseroan yang bergerak di bidang perkapalan. Perawakannya tidak seberapa besar, dengan kumis lebat melintang ia mirip sebagai anggota TRIAD, seperti dalam film-film laga.
Setelah berbasa-basi sejenak, ia pun menguraikan maksud kedatangannya agar aku bersedia membantunya setelah menerima pemberiannya berupa sepasang sepatu.
“Saya memang berharap banyak dari Anda. Saya harap Anda bersedia menjadi calon kami, karena dengan demikian timbal balik di antara kita sudah sah,” katanya seraya menikmati kue brownies yang kuhidangkan.
Seharusnya aku merasa kesal terhadap laki-laki yang mengaku sebagai direktur eksekutif sekaligus sebagai bendahara salah satu kontestan pemilihan umum. Dugaan tanpa pamrih buyar seketika. Melihat kegigihanya mendekatiku, ada rasa iba. Pada saat itu timbul niatku untuk membungkus dan mengembalikan pemberiannya. Tetapi demi mengingat sepatu itu sudah kupakai, aku membatalkan niat itu.
“Baiklah. Meski Bapak menghargai saya hanya dengan sepasang sepatu, saya akan mencoba bersikap profesional. Tawaran itu saya terima meski saya tak ingin tahu apa alasan yang tepat atas pilihan itu,” kataku tegas.
Ia pun menepuk pundakku dengan mantap dan berlalu meninggalkan aku yang masih merasa heran dengan keberanianku mengambil keputusan. Kadang memang muncul anggapan aneh tentang diri sendiri, tetapi ketika seseorang memahami jika setiap saat terjadi proses, maka keanehan itu akan hilang dengan sendirinya. Pada akhirnya aku pun bisa menguasai diri, dalam arti harus siap bermain dengan peran apa pun. Inilah yang kukatakan sebagai gelanggang yang sarat dengan tipu daya dan kepalsuan.
***
Perjalanan itu tak terlalu menyenangkan. Bertolak dari markas anak cabang, mobil yang berisi lima orang termasuk aku, berjalan terseok-seok di antara kerumunan massa yang menyemut sejak pagi. Aku tidak tahu apa sebenarnya yang mereka cari, toh ketika semua usai, yel-yel yang memenuhi udara tak akan ada artinya lagi. Tidaklah berlebihan jika kukatakan bahwa persoalan yang sulit dihadapi adalah ketika menaklukkan mimpi-mimpi.
Kami menuju sebuah hotel berbintang di jantung kota, melewati arak-arakan yang tak ada putusnya, melingkar-lingkar memenuhi badan jalan, sementara yang lain lebih senang mengalah. “Tapi itulah rakyat. Biarkan mereka berpesta,” kata Ketua Cabang berapi-api.
Aku mengerutkan dahi. Kata-kata pesta yang baru saja ia ucapkan seakan menyadarkan aku akan keberadaan orang-orang di sebelah real estate tempat aku tinggal selama ini. Pesta bagi mereka merupakan saat-saat menggantungkan mimpi dan harapan entah kepada siapa, karena selama ini para pemimpin hanya pandai beretorika tanpa mau tahu kapan mereka mewujudkan mimpi-mimpi kaum papa.
Ah, sudahlah! Aku terlalu lelah memikirkan persoalan yang bukan persoalanku. Apakah itu sekadar pelarian rasa kesal, aku sendiri tak tahu. Persoalan orang-orang kampung di sebelah real estate adalah persoalan nasib yang tidak dengan serta-merta dapat diubah hanya dengan atribut dan yel-yel murahan. Aku tersenyum sendiri kala ingatanku melompat kepada Wak Jo, penjual air di kampungku. Hampir setiap kali ada kampanye, ia selalu berhasil mengumpulkan berbagai bendera dengan berbagai ukuran di samping setumpuk kaos dengan gambar-gambar berbeda. Ketika dengan iseng aku menanyakan buat apa kaos-kaos dan bendera itu, dengan santai ia menjawab, “Ah, ndak ada maksud lain kok, Nak. Saya hanya ingin menambah kekayaan yang saya dapat setiap lima tahun sekali.”
Kala itu aku menatapnya heran, jawabnya yang tanpa nada getir sedikit pun tenyata merupakan ekspresi dari akumulasi kekecewaan dalam diri orang-orang macam Wak Jo. “Itulah yang disebut kebesaran hati wong cilik,” kata Bendahara Partai ketika secara bergurau aku menyampaikan hal itu kepadanya. Aku hanya bisa menghela napas, menahan diri terhadap kata-kata politisi kampung tersebut. Mobil terus bergerak menuju lokasi, dan kurang dari setengah jam, sampailah kami.
Panggung itu tidak seberapa lebar, hanya tiga kali tiga meter. Di sebelah kiri dan kanan bagian depan panggung dipasang bendera dalam ukuran besar sehingga terkesan menenggelamkan panggung itu sendiri. Kurang lebih dua meter dari panggung, undangan sudah mengisi kursi-kursi yang disusun berderet-deret. Kebanyakan dari hadirin adalah anak-anak, remaja, serta ibu-ibu yang sebagian besar tampak kerepotan menggendong bayi-bayinya. Sesekali tangis bayi-bayi itu makin membuat bising berbaur dengan hingar-bingarnya musik yang dipasang keras-keras. Kepalaku memberat, sementara mataku berkunang-kunang menyaksikan massa yang makin berjubel di sekitar lokasi.
“Mengapa, kurang sehat? Kuatkan, Anda tampil sebagai pembuka,” Bendahara Partai kembali berbisik kepadaku. Aku hanya mengangguk kecil, rasa sakit di kepala makin menjadi-jadi. Dengan berat hati aku pun melangkah ke atas panggung. Merdeka! Merdeka! Merdeka! Pekikku setengah hati. Aku tak peduli bagaimana sambutan massa, yang penting aku hanya ingin membayar hutangku atas sepasang sepatu dengan berorasi di lokasi ini.
“Halo ibu-ibu, Saudara sekalian, di mana para suami? Mengapa mereka tidak ikut hadir bersama kalian di sini?” teriakku lantang meski aku sendiri tak tahu ke mana arah pertanyaan itu. “Mereka kerja di sawah, Pak. Kalau ikut ke sini kami semua tidak makan!”
Jawaban serempak itu membuat kunang-kunang di mataku makin penuh dan kepalaku serasa mau copot. Demi anak istri, para lelaki harus ke sawah untuk sekadar sesuap nasi, sementara demi sepasang sepatu, aku mesti berdiri di sini dengan berkunang-kunang serta kepala yang makin memberat dan terus memberat, menjual omong kosong yang tak karuan ujung pangkalnya. Kupegang kepalaku dengan kedua tangan dengan tidak lagi menghiraukan bendahara partai yang melotot ke arahku. Aku merasa tidak sanggup lagi bicara ngalor-ngidul tanpa tujuan, karena tiba-tiba para lelaki di desa ini telah menyadarkan aku bahwa tempat mereka lebih tinggi dibanding aku. Kutinggalkan tempat itu dengan menyisakan keheranan dalam diri setiap orang, terutama Bendahara Partai.
Sampai di rumah, kukeluarkan semua tabunganku, kuhitung apakah cukup untuk sepasang sepatu mahal seperti pemberian yang kuterima kemarin dulu. Kini hampir setiap sore usai melaksanakan tugas di kantor, aku selalu menyempatkan diri pergi ke toko sepatu atau ke mall sekadar mencari sepatu yang persis sama seperti yang pernah dikirim Bendahara Partai. Sayang sampai detik ini belum sekalipun aku menemukan sepatu seperti yang kuharapkan.
“Saya kira itu model special edition, edisi special, Pak,” sahut salah seorang pelayan di toko sepatu yang sempat aku kunjungi. Aku benar-benar putus asa.
Aku merasa sepatu itu benar-benar telah mengekangku di suatu tempat tanpa pernah memberiku ruang gerak sedikit pun. Ia telah memenjarakan aku dengan tampilannya yang trendi tanpa pernah menghiraukan perasaan yang tertekan setiap kali manyaksikan ia tergeletak di sembarang tempat.
Kini aku tetap rajin mengunjungi setiap toko sepatu yang ada di kotaku, barangkali bisa menemukan sepasang sepatu yang kuinginkan, demi menebus kebebasanku kembali.
http://kumpulan-cerpen.blogspot.com/2004_08_01_archive.html
Cerpen Zoya Herawati
0 komentar:
Posting Komentar