Kamis, 28 Oktober 2010

Ada Apakah Dengan Anda?

Setiap saat setiap waktu anda mengeluh, anda selalu merasa kurang dan kurang,
anda selalu merasa tak puas,. anda kurang bersyukur,
Anda sebenarnya tidak sedang melakukan kesalahan,karna memang begitulah sebenarnya manusia.
MAnusia tempat kekurangan dan kesempurnaan itu ada karena kita saling melengkapi.
Tapi taukah anda ketika anda mengeluh berapa waktu yang anda gunakan untuk mengeluh,
kenapa anda tidak mencoba untuk menggunakan waktu itu untuk berfikir merencanakan sesuatu untuk hari esok.
Ketika anda merasa kurang,bukankah itu adalah sebuah pemacu kita untuk mencari yang lebih.
bahkan ketika anda kurang merasa puas bukankah itu adalah tolak ukur kemampuan kita yang akan lebih baik kalau kita tingkatkan.
Dan ketika anda kurang bersyukur kenapa anda tidak memulainya dari sekarang untuk mensyukuri semua yang Tuhan telah berikan kepada kita.
kenapa harus menunggu besok kalo kita bisa lakukan sekarang.

Kiriman sahabat Gilang Gapendos

Terima kasih atas kiriman artikelnya


Read more: http://www.resensi.net/ada-apakah-dengan-anda/2010/09/14/#more-806#ixzz13eLb6n7P

Teruslah Mencoba

* Pernahkah Kau jatuh saat ingin mengejar sesuatu di depanmu?
kegagalan* Pernahkah Kau gagal saat mencoba sesutu hal yang orang lain anggap hal itu mudah?
* Dan pernahkah Kau merasa terkucilkan disaat semua orang tak menghiraukan keadaanmu?

Dan apa yang Kau lakukan setelah itu? menyerah?atau bangkit kembali dari hal tersebut?
* Saat Kau ingin mengejar sesuatu yang ada di depanmu baik itu abstrak maupun nyata, TERUSLAH KEJAR! Kalaupun ada batu yang banyak dan membuat kau terjatuh tetaplah berjuang untuk terus berlari ke depan.
* Saat kau gagal mencoba sesuatu hal yang orang lain mengganggapnya hal tersebut mudah

TETAPLAH MENCOBA! Kalaupun ada hinaan dan cacian karena kau tidak bisa melakukannya tetaplah berusaha hingga kau berhasil menciptakan apa yang kau coba
* Saat kau merasa terkucilkan disaat semua orang tak menghiraukanmu BERPIKIRLAH POSITIF! Kalaupun banyak orang yang mengecewakanmu dan membuatmu terluka tetaplah tersenyum hingga semua orang menyadari bahwa kau begitu berarti bagi mereka

Kenapa kita harus lakukan semua itu???Penting kah???
* Batu yang menjatuhkanmu saat mengejar sesuatu mengajarkan kita bahwa kita perlu teliti dalam melangkah dan belajar dari kesalahan kita saat kita terjatuh.
* Gagal saat mencoba sesuatu merupakan hal yang mengajarkan kita untuk pantang menyerah dan menunjukkan kita bahwa kita itu bukannya bodoh melainkan kita menemukan hal penghambat yang orang lain tidak temukan sebagai pembelajaran bagi kita untuk bisa mengatasi kendakla saat mencobanya kembali
* Merasa terkucilakan mungkin merupakan kesalahan dari kita berpandangan terhadap orang lain dan perasaan seperti ini mengajarkan kita untuk berpikir positif bahwa orang2 disekitar kita tetap peduli terhadap kita mungkin cara mereka untuk perduli kurang kita pahami untuk itu disinilah kita perlu belajar mempelajari karakter orang lain
Semua hal yang membuat kita putus asa sebenarnya menyimpan pembelajaran yang sangat berharga bagi kita. Bukan lagi saatnya kita menyerah saat keputusasaan menyerang kehidupan kita, namun di saat itulah kita harus bangkit untuk berusaha menyelesaikan itu semua karena semua itu hanya kita yang dapat menyelesaikannya dengan baik. Dan lihatlah sisi baik dari setiap masalah yang ada jangan selalu melihat sisi jelek dari suatu masalah, karena tiap sisi menimbulkan efek yang berbeda.

Artikel Kiriman dari Sahabat Sartika Setiyowati



Read more: http://www.resensi.net/teruslah-mencoba/2010/09/19/#more-776#ixzz13eLDZsgo

Renungan Masa Depan

Sahabat!
Taukah kalian akan makna kematian?
waktu2Ya, kematian merupakan hal yang biasa kita jumpai tetapi kematianjuga masih merupakan momok bagi kita jika seandainya kematian itu terjadi pada diri kita. Sadarlah, kematian akan datang pada kita karena perlahan setiap detik, menit, jam, hari yang kita punya di dunia berkurang. Dunia tidak dapat menampung kita selamanya karena duniapun tidak akan abadi.

Lalu setelah mati?
Kematian bukan sebuah akhir perjalanan. Memang, sebuah akhir perjalanan di dunia tetapi juga sebuah awal perjalanan menuju “masa depan” yang kekal. Perjalanan yang sangat berat yang harus kita tempuh sendiri tanpa ditemani keluarga, teman-teman. Mempertanggungjawabkan dan menerima konsekwensi atas semua yang telah dilakukan di dunia.

Sekilas, tulisan di atas mungkin sama saja dengan yang lainnya. Tapi, lihatlah “masa depan” itu. Sekarang kita bisa menghabiskan waktu sesuka kita. Tapi,ketika semua kegiatan kita hanyalah hura-hura, semuanya tidaklah berarti jika kita merenungi akan masa depan kita. Tidak akan berdampak pada masa depan.

Sahabat, bukan maksud saya untuk membuat kalian takut, menyalahkan takdir atau bahkan Tuhan atas hal yang akan menimpa kita tapi saya hanya ingin kita semua sadar akan hal ini. Menyesali keadaaan malah akan memperburuk kita. Saya tidak akan menyuruh kalian untuk segera bertobat karena tujuan saya menulis seperti ini tidaklah untuk itu. Kalian sendirilah yang tau pilihan mana yang akan kalian pilih nantinya. Jalanai saja apa yang ada dan ingat selalu akan “masa depan” itu.

Artikel Kiriman

Sahabat Esti Gumansuci

esti_gumansuci@ymail.com


Read more: http://www.resensi.net/renungan-masa-depan/2010/09/22/#more-772#ixzz13eKqwMWM

Bawaan Lahir atau Bisa Dipelajari?

Pertanyaan-pertanyaan berikut cukup menarik dan banyak menjadi bahan pemikiran para ahli. Apakah seseorang memang dilahirkan sebagai penjahat?. Sungguh adakah orang yang dilahirkan sebagai pemimpin?. Bila anda terlahir pemalu, bukankah itu berarti anda menjadi pemalu selamanya? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu juga berkembang di berbagai bidang psikologi, seperti misal, apakah intelegensi sudah ada sejak lahir – sebagai sifat bawaan si anak – atau dapat berkembang melalui pola pengasuhan yang tepat. Silang pendapat ini dikenal sebagai perdebatan “bawaan – perkembangan (nature – nurture)”. Semua jawaban yang pernah diberikan tidak sepenuhnya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun demikian, dalam kaitannya dengan bersikap positif ini kita mengetengahkan empat asumsi yang merupakan tema pembicaraan.

- Sikap Positif bukan bawaan lahir;
– Sikap Positif bisa dipelajari;
– Sikap Positif adalah pilihan;
– Kita bisa mempraktekkan sikap positif, bisa juga tidak – itu pilihan anda.

Keempat asumsi ini penting bagi pembahasan kita, karena jika anda tidak sependapat bahwa sikap positif merupakan sesuatu yang adapat anda pilih, maka kecil kemungkinan bagi anda untuk berubah.

Bila anda masih ragu-ragu, cobalah mengerjakan latihan berikut ini:

1. Renungkan sejumlah aspek kehidupan anda. Berilah jawaban, apakah sikap anda sekarang ini memang karena anda terlahir demikian; atau semata-mata merupakan hasil pelajaran atau
2. Pengaruh yang anda terima
3. Atau merupakan campuran antara sikap bawaan lahir dan perkembangan kehidupan anda ?

* Cara anda mengambil keputusan [1] [2] [3]
* Sikap anda terhadap uang [1] [2] [3]
* Sikap anda terhadap ras [1] [2] [3]
* Pendapat anda mengenai masalah lingkungan [1] [2] [3]
* Rasa humor anda [1] [2] [3]
* Selera musik anda [1] [2] [3]
* Semangat dan energi anda [1] [2] [3]
* Surat kabar yang anda baca [1] [2] [3]

Pada dasarnya, cara anda berpikir, selera dan sikap politik anda adalah hasil belajar dan akan terus berkembang selama hidup. Sedangkan rasa humor, semangat dan energi anda – yang merupakan sedikit campuran antara bawaan lahir dan pilihan – merupakan pengecualian.

Mungkin anda berpendapat bahwa semua ini agak ekstrim. Bila anda yakin bahwa sikap positif atau negatif adalah bawaan sejak lahir, dan kebetulan anda sendiri atau karyawan anda mempunyai sikap negatif, maka tidak ada sesuatu pun yang dapat dilakukan untuk mengubahnya. Sebenarnya tidaklah demikian.
Memang faktor genetis juga berperan. Sebagian besar orang bisa menyanyi, namun sedikit sekali yang mampu melantunkan lagu sekaliber Ruth Sahanaya. Banyak orang bisa menggambar, namun hanya segelintir orang yang mampu menggambar sebagus Basuki Abdullah. Semua orang bisa berlari, namun hanya sedikit sekali yang bisa menjadi pelari kelas dunia.

Sekali pun demikian, melalui praktek dan latihan kita akan mampu menyanyi lebih baik, menggambar lebih baik atau berlari lebih cepat. Jadi dengan bersikap positif, anda akan dapat menjadi semakin baik dalam hal-hal yang anda geluti. Sebagai langkah awal, anda perlu bersikap positif pada kemungkinan terjadinya perubahan.

Sikap positif dalam manajemen merupakan suatu sifat yang dapat meningkatkan setiap atau semua bentuk kecakapan manajemen. Namun demikian, sikap positif tidak dapat berdiri sendiri. Oleh karena itu sikap positif berkaitan timbal balik dengan berbagai bentuk kecakapan manajemen.

Mari kita tutup sesi ini dengan mengandaikan anda sebagai manajer personalia yang sedang menghadapi pemogokan karyawan. Bagaimana kecakapan anda dalam menangani masalah tersebut dikaitkan dengan ciri-ciri bersikap positif yang pernah kita bahas di sesi 2? Berilah skor pada setiap ciri mulai dari
negatif hingga positif:

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1. Sangat tidak netral———————————-Netral

2. Tidak mampu menguasai———–Mampu menguasai

3. Tidak berpikir kreatif——————-Berpikir Kreatif

4. Pesimis———————————————Optimis

5. Tidak efektif berkomunikasi—Efektif Berkomunikasi

Tentu saja kita tidak bisa memberi angka yang pasti untuk mengukur tingkat sikap positif anda. Namun, pada taraf tertentu anda harus menilai seberapa positif sikap anda pada saat ini, dan apakah ada hal yang harus diubah agar anda dapat mengingkatkan sikap positif anda. Boleh jadi anda berpikir ada indikasi yang menjadi ciri-ciri lain bersikap positif dan itu sah-sah saja. Yang penting di sini, semakin tinggi nilai yang anda berikan pada latihan di atas atau ciri-ciri lain yang anda tambahkan, maka semakin besar kemungkinannya anda dapat bersikap positif dalam manajemen anda.


Read more: http://www.resensi.net/bawaan-lahir-atau-bisa-dipelajari-2/2010/09/25/#more-827#ixzz13eKNKpLS

Nilai Sebuah Kegagalan

Bagi banyak orang kegagalan adalah sesuatu yg buruk. Apakah betul begitu? Untuk pikiran yang dangkal, hal itu memang betul. Namun apabila kita memikirkannya lebih dalam lagi, kegagalan tidak selamanya merupakan bencana. Bisa jadi, dengan kegagalan Tuhan mengingatkan kita bahwa kapasitas kita belum cukup untuk menerima kesuksesan. Barangkali Tuhan menunjukkan kepada kita bahwa masih banyak hal yang harus kita pelajari, yang mana kalau kita sukses padahal kemampuan kita masih dangkal, kita akan terjatuh lebih dalam lagi. Seperti yang pernah dikatakan oleh seorang ahli investasi dari Amerika bahwa ‘orang bodoh dengan uang banyak adalah suatu fenomena yang sangat menarik’. Apakah yang akan terjadi bila orang bodoh tiba-tiba mendapatkan uang banyak? Jelas, dia akan menghabiskannya tanpa perhitungan hanya untuk barang-barang konsumtif dan kembali mengalami kesulitan keuangan karena kemungkinan besar barang-barang konsumtif tersebut akan dia beli dengan cara kredit. Apakah dia pantas disebut orang kaya? Jelas tidak, orang yang betul-betul kaya tahu betul apa yang akan dia perbuat dengan uangnya dan akan mengembangkannya lebih banyak lagi.

Poin utamanya adalah kesuksesan yang kita terima akan selalu sesuai dengan kapasitas diri kita. Jika kita menerima kesuksesan di luar kapasitas diri, malah kita akan jatuh lebih dalam dan gagal lebih parah. Maka dari itu, jangan terlalu mendramatisir kegagalan. Bisa jadi dengan kegagalan Tuhan menyelamatkan kita dari kegagalan yang lebih parah. Yang perlu kita fokuskan adalah bagaimana caranya agar kita bisa berkembang secara pribadi untuk layak menjadi orang yang betul-betul sukses sehingga kesuksesan kita bisa bertahan lama dan semakin berkembang.

Semoga Beruntung!

Ditulis oleh “Kesatria Pemikir”

Kumpulan Motivational Quotes: http://hubpages.com/hub/motivational-inspirationalquotes


Read more: http://www.resensi.net/nilai-sebuah-kegagalan/2010/09/28/#more-795#ixzz13eJdg3hZ

Ikhlas Itu Indah

Hujan rintik-rintik membasahi bumi, udara berhembus terasa segar. Seorang pemuda telah selesai menunaikan sholat dzuhur berjamaah di masjid. Pandangannya menyapu ke arah halaman masjid, tidak jauh darinya ada seorang perempuan tua yang duduk ditengah lapangan menarik perhatiannya. Tiba-tiba sebuah tas kecil dari tempat nenek itu terbang tertiup angin kencang. Segera pemuda itu memperhatikan teriakan nenek itu minta tolong, ingin tasnya diambilkan.

Merasa terpanggil pemuda itu segera berlari mengejar tas kecil, terlihat tas itu telah melesat jauh, dia berlari dengan terengah-engah kelelahan. Berlarilah pemuda itu sekuat tenaga dan tas kecil itu berhasil juga dipegangnya. Nampak keringat bercucuran, dengan hati penuh kebahagiaan dia berlari kecil mengantarkan tas kecil. Terlintas didalam hatinya lelah yang dirasakan tentunya akan disambut dengan senyuman dan ucapan terima kasih sang nenek sudah cukup sebagai balasan atas kebaikan yang telah dilakukannya.

Namun diluar didugaannya, sang nenek segera merebut tas kecil itu dan membalikkan tubuhnya dengan wajah yang cemberut, sepintas seperti marah. Pemuda terkejut bukan main. Jangankan senyuman dan ucapan terima kasih, wajah ramahpun tidak terlihat. Pemuda itu kebingungan. ‘Apa dosaku ya?’ ucapnya lirih. Dia tak bisa bergerak, malu, kesal, kecewa tercampur aduk.

Berkali-kali pemuda istighfar, siang itu dirinya menemukan pelajaran yaitu makna ikhlas. Ya tentang keikhlasan. Keikhlasan berarti tidak pernah berharap apapun, bahkan balasan walaupun berupa senyuman dari yang kita perbuat. Lakukanlah segala perbuatan baik semata-mata karena Allah. Itulah yang disebut dengan ikhlas. Siang itu dihalaman masjid, pemuda itu mendapatkan pelajaran bahwa ikhlas itu indah.

‘Dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka, tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakan.’ (QS. At-Thuur : 21).

sumber : ferdiansyah http://inspirenight.blogspot.com/2010/09/ikhlas-itu-indah.html


Read more: http://www.resensi.net/ikhlas-itu-indah/2010/10/28/#more-850#ixzz13eJ3Ib2t

Selasa, 19 Oktober 2010

dongeng

Putri salju dan mahkota phoenix

Pada zaman dahulu kala, di sebuah daerah yang sangat jauh di bagian utara, ada sebuah kerajaan salju. Musim dingin di sana sangat panjang dan hampir sepanjang tahun diselubungi salju. Sedangkan musim panas sangat pendek dan dalam sekejap telah berlalu.

Raja Salju adalah seorang raja yang sangat arif dan bijaksana. Raja Salju mempunyai seorang putri yang cantik yaitu Putri Salju. Putri Salju sama seperti ayahandanya berhati baik, karena sering kali mengatakan, ”Hanya orang yang berhati baik, baru bisa mendapatkan kebahagiaan yang hakiki!”

Setiap hari, ketika Putri Salju mempunyai waktu luang, ia pasti akan berdiri di depan sebuah jendela yang besar di istana kerajaan untuk melihat pemandangan di sekitarnya. Dari jendela yang besar itu, bisa melihat salju yang menyelimuti seluruh wilayah dan laut yang telah membeku menjadi gumpalan es.

Setiap kali melihat pemandangan yang ditutupi oleh salju, Puti Salju akan teringat musim panas yang indah dimana terdapat rumput-rumput yang hijau segar dan sederetan perumpung yang dilalui kuntul yang indah di bawah langit biru, terbayang akan pernikahannya yang akan segera tiba.

Pada sebuah malam terang bulan yang dingin, Putri datang lagi di depan jendela istana. Cahaya bulan yang terang benderang bagaikan di siang hari menyinari dengan jelas segala yang berada di luar jendela. Udara semakin dingin, di atas kaca jendela mulai di selubungi selapis bunga salju yang halus, lembut dan gemerlapan, sangat indah. Dan terbersit pikiran Putri Salju melihat pemandangan yang indah itu, “Jika saja bisa memakai mahkota seperti bunga salju ini, oh alangkah indahnya.”

Pada hari kedua, penjahit didalam istana mulai membuat pakaian pengantin sang Putri Salju, namun tidak ada yang tahu bagaimana membuat mahkota seputih bunga salju.

Suatu hari, seorang tua datang ke istana, katanya ia bisa membuat mahkota yang demikian, namun harus memakai seikat mahkota phoenix yang kusut masai yang tumbuh pada musim semi di atas kepala burung kuntul, dan persis seperti bunga salju. Dengan sangat gembira mata Putri Salju memancarkan sinar ceria, “Ya! Saya memang ingin memakai perhiasan bulu seperti itu, lalu bagaimana baru bisa mendapatkannya?”

Orang tua merendahkan nada suaranya, dan membisikkan ke telinga sang putri, “Hanya perlu membunuh seekor burung kuntul.”

“Membunuh burung kuntul”, mata sang putri menjadi redup, “Tidak, Tidak.”

Putri terbayang akan burung-burung besar yang indah itu yang terbang melintas di atas langit pada musim panas, bagaimana saya boleh berbuat demikian? Namun, bagaimana dengan mahkota yang indah itu? Lama sekali sang Putri tidak dapat mengambil keputusan. Tidak lama kemudian, Putri Salju berdiri di depan jendela besar yang digemarinya dan merenungkan dalam-dalam dan kemudian tertidur.

Dalam mimpinya, putri melihat si orang tua membawa sebuah mahkota yang indah sekali memakai kotak emas, bulu yang halus dan putih bersih, butir-butir berlian yang berkilauan. Sang putri yang memakai perhiasan mahkota, sangat mempesona dalam pernikahannya, semua orang melongo oleh paras putri yang cantik.

Di musim panas setelah pernikahan itu, putri salju dan ayahandanya berkunjung lagi di padang rumput hijau yang sedang bersemi di luar istana, dan masuk ke semak perumpung.

Di bawah langit biru, mengapa tak terlihat seekor burung kuntul pun? Sang putri merasa sangat aneh. Tiba-tiba, sang putri melihat ribuan ekor burung kuntul berbaring di depan, ada yang telah mati, ada yang mulutnya terbuka sedang mengembuskan napas terakhir. Saking terkejutnya, putri menutup matanya, dan berteriak panik, “Ya Tuhan, kenapa bisa begini?”

Seekor burung kuntul yang akan segera mati berkata pada sang putri, “Kamulah orang pertama yang memakai bulu mahkota kami dan membuatnya sebagai perhiasan mahkota. Dan mahkota burung kuntul itu juga diinginkan orang-orang sehingga hampir semua burung kuntul musnah dibunuh. Di atas dunia ini tidak akan ada lagi burung kuntul.”

Sang putri yang sangat menyesal terjaga dalam teriakannya, dan baru menyadari ternyata hanya sebuah mimpi.

Putri yang terjaga dari tidurnya, mengingat kembali suasana dalam mimpinya, jantungnya terus berdetak, “Untung, masih belum membunuh seekor burung kuntul pun.”

Sang Putri merasa bersalah dengan pikirannya yang menginginkan kecantikan sehingga membangkitkan pikirannya untuk membunuh seekor burung kuntul. Kemudian, Sang Putri meminta ayahandanya memaklumatkan kepada pejabat dan rakyat seluruh negeri, “Dilarang melukai makhluk hidup yang hanya digunakan untuk beberapa hal yang tidak berarti.”

Musim panas telah tiba. Pernikahan Putri Salju benar-benar akan dilaksanakan. Ketika Sang Putri yang menggenggam bunga dan mengenakan busana pengantin melangkah keluar dari istana, langit tampak biru cerah, pejabat-pejabat seluruh negeri yang datang menghadiri pernikahan Sang Putri tidak melihat perhiasan (mahkota) apa-apa di atas kepalanya, namun hatinya yang baik membuat sang Putri Salju tampak semakin cantik dan menggugah hati.

Tiba-tiba, di bawah sinar mentari orang-orang melihat di atas langit yang tiada awan sedikit pun melayang seserpih bunga salju yang gemerlapan. Ribuan serpihan bunga salju yang bening gemerlap berputar di atas langit, menari-nari, dan semakin lama semakin cepat, serta memancarkan cahaya warna-warni di bawah sinar matahari.

Dan tiba-tiba, gumpalan cahaya warna-warni itu berhenti berputar dan tampak sebuah mahkota yang sangat indah, lembut gemerlap bercahaya sangat indah bagaikan berlian yang berkilauan di bawah sinar matahari perlahan-lahan melayang turun ke atas kepala sang Putri.

Ternyata, Dewi Kuntul yang berada di atas langit mengetahui hati sang Putri Salju yang baik, lalu menggunakan sari mujarab bunga salju menganyam mahkota itu dan dihadiahkan kepada sang putri sebagai penghargaan atas kebaikan hati sang Putri Salju.

Dan sejak itu, kehidupan orang-orang negeri salju semakin makmur sejahtera dan harmonis. Semua orang saling memperlakukan dengan baik, melindungi dan menyayangi segalanya, dan negeri salju pun menjadi semakin indah.

Senin, 18 Oktober 2010

cerpen

Sepasang sepatu

Suatu hari di bulan Agustus, seseorang mengirimi aku sepasang sepatu, tepat ketika aku tengah membutuhkannya. Kukatakan demikian karena sepatu milikku yang beberapa minggu sebelumnya kubeli dari sebuah butik mahal, bagian uppernya sudah mulai retak-retak, mengenaskan.

Kerut-kerut putih yang timbul pada permukaan kulit berwarna hitam pekat, menjadikan kakiku tak nyaman mengenakannya. Semua mata seolah menyipit atau melotot penuh ejekan saat menatap kakiku melangkah ke mana saja, hingga rasanya tubuhku memberat dan ingin sesegera mungkin ambles ke bumi. Pernah aku mengadukan perihal tersebut kepada pelayan butik, tentang betapa jeleknya kualitas sepatu yang harganya hampir setengah juta rupiah itu.

Tetapi aku kembali menelan kekecewaan. Pelayan itu hanya mengangguk-angguk kecil tanpa mengerti harus melakukan apa. “Menyesal kami tidak bisa memuaskan Bapak sebagai pelanggan, tetapi kasus seperti ini memang tidak diatur dalam perjanjian. Kalau Bapak bersedia, bisa membeli lagi sepasang yang baru,” katanya.

Kalimat yang disampaikan dengan lemah lembut itu tetap saja serasa menggempur dada. Jika saja ia bukan pelayan dengan wajah manis sekali, ingin aku mengajarnya seketika. Tapi itulah kelemahanku, selalu saja tak berdaya berhadapan dengan wajah manis, inosen, dan sedikit manja. Perempuan berparas ayu selalu saja membuatku bertingkah laku konyol dan sedikit memalukan. Yang bisa kulakukan hanyalah memarahi diri sendiri menyesali kelemahanku itu.

Dengan perasaan dongkol kubawa pulang kembali sepatu sialan itu, dan segera kulemparkan ke sembarang pojok kamar tanpa pernah mengusiknya lagi. Jadilah, ke mana pun pergi aku hanya mengenakan sandal kulit yang sudah lama kucampakkan. Sebenarnya bisa saja aku membeli sepatu dengan sembarang merk, tetapi itulah, aku tak ingin musibah itu menimpaku lagi. Sepatu berharga mahal saja bisa membuatku kecewa, apalagi sepatu “ebrekan”. Sampai beberapa minggu kemudian, tabunganku masih saja belum cukup untuk membeli sepasang sepatu baru seperti yang kuharapkan. Di sisi lain aku hanya berharap mudah-mudahan sandal usang itu mampu bertahan beberapa waktu lagi, karena seperti kabar burung yang kudengar, semua tukang sol sepatu pada bulan seperti ini pulang kampung untuk panen. Memang tak satu pun tukang sepatu lewat seiring dengan kabar tersebut. Pernah terbesit dalam pikiranku bahwa sebenarnya mereka adalah orang-orang licik yang dengan sengaja menyembunyikan kekayaan yang dimiliki di desa. Tetapi karena hal itu bukan merupakan kesalahan aku pun hanya bisa diam.

Kubaca sekali lagi secarik kertas bertuliskan ucapan selamat ulang tahun yang kuambil dari kardus tempat sepatu. “Mudah-mudahan Agustus tahun ini memberimu kebahagian.” Mula-mula aku memang sempat bertanya-tanya kepada diri sendiri, siapa gerangan orang yang sudah berbaik hati mengirimi aku sepasang sepatu dengan kualitas kulit nomor satu?! Apa maksudnya? Apa ia salah seorang yang selama ini memperhatikan ke mana pun aku pergi hanya dengan mengenakan sandal, dan kemudian menjadi iba hati, lalu mengirimkan sepatu ini? Atau ia seorang pemilik pabrik sepatu yang sedang cuci gudang, lalu membagikan sisa barang gudangnya? Tetapi mengapa hanya aku, bukankah di kampung ini banyak juga yang mengenakan sandal, atau bahkan tak bersepatu dan tak beralas kaki sama sekali? Apa pun alasan si pengirim, rasa-rasanya aku patut bersyukur kepadanya karena seperti yang kukatakan, ia mengirimkannya pada saat yang tepat.

Tatkala perasaan di dadaku sudah sampai pada puncak, aku kenakan sepatu itu dan mematut diri di depan kaca, sambil sesekali kuusir debu pada permukaannya agar sepatu itu tetap tampak mengkilap. Setelah kurasa cukup, kumasukkan kembali sepatu itu ke dalam kardus dan kusimpan di tempat yang cukup aman. Artinya terlindung dari pandangan rekan-rekan satu kos. Maklum, jika melihat benda baru, mereka selalu berebut memakainya lebih dulu tanpa mempertimbangkan perasaan sang pemilik.

***

Sementara itu sudah hampir sebulan aku mengenakan sepatu kiriman entah dari siapa sampai saat ini aku tetap tak tahu. Tak satu pun petunjuk mengatakan kepadaku tentang diri si pengirim. Ia berlalu begitu saja, seolah benar-benar ikhlas dengan pemberiannya itu. Tanpa pamrih, begitu orang biasa menyebutnya. Di kantor atau di mana pun aku berada, sepatu itu telah membuatku makin percaya diri. Dengan gesper putih mengkilat dan potongan dinamis, sepatu itu sepertinya cocok dipadukan dengan pantalon warna apa saja. Dengan kata lain sepatu kiriman itu telah menjebatani duniaku dengan dunia di luar diriku, dan ia pun merupakan kata kunci bagiku untuk pintu yang di baliknya tersaji gelanggang yang sarat dengan tipu daya dan kepalsuan.

Pada tahap ini aku seolah sadar telah terseret pada keadaan yang aku sendiri hendak menolaknya seandainya aku mampu. Sayang, aku tak punya kesempatan membangun keberanian pada saat pengirim sepatu itu datang suatu ketika. Kala itu aku tengah menghabiskan waktu setelah seharian penuh bekerja sebagai sub-kontraktor pada perseroan yang bergerak di bidang perkapalan. Perawakannya tidak seberapa besar, dengan kumis lebat melintang ia mirip sebagai anggota TRIAD, seperti dalam film-film laga.

Setelah berbasa-basi sejenak, ia pun menguraikan maksud kedatangannya agar aku bersedia membantunya setelah menerima pemberiannya berupa sepasang sepatu.

“Saya memang berharap banyak dari Anda. Saya harap Anda bersedia menjadi calon kami, karena dengan demikian timbal balik di antara kita sudah sah,” katanya seraya menikmati kue brownies yang kuhidangkan.

Seharusnya aku merasa kesal terhadap laki-laki yang mengaku sebagai direktur eksekutif sekaligus sebagai bendahara salah satu kontestan pemilihan umum. Dugaan tanpa pamrih buyar seketika. Melihat kegigihanya mendekatiku, ada rasa iba. Pada saat itu timbul niatku untuk membungkus dan mengembalikan pemberiannya. Tetapi demi mengingat sepatu itu sudah kupakai, aku membatalkan niat itu.

“Baiklah. Meski Bapak menghargai saya hanya dengan sepasang sepatu, saya akan mencoba bersikap profesional. Tawaran itu saya terima meski saya tak ingin tahu apa alasan yang tepat atas pilihan itu,” kataku tegas.

Ia pun menepuk pundakku dengan mantap dan berlalu meninggalkan aku yang masih merasa heran dengan keberanianku mengambil keputusan. Kadang memang muncul anggapan aneh tentang diri sendiri, tetapi ketika seseorang memahami jika setiap saat terjadi proses, maka keanehan itu akan hilang dengan sendirinya. Pada akhirnya aku pun bisa menguasai diri, dalam arti harus siap bermain dengan peran apa pun. Inilah yang kukatakan sebagai gelanggang yang sarat dengan tipu daya dan kepalsuan.

***

Perjalanan itu tak terlalu menyenangkan. Bertolak dari markas anak cabang, mobil yang berisi lima orang termasuk aku, berjalan terseok-seok di antara kerumunan massa yang menyemut sejak pagi. Aku tidak tahu apa sebenarnya yang mereka cari, toh ketika semua usai, yel-yel yang memenuhi udara tak akan ada artinya lagi. Tidaklah berlebihan jika kukatakan bahwa persoalan yang sulit dihadapi adalah ketika menaklukkan mimpi-mimpi.

Kami menuju sebuah hotel berbintang di jantung kota, melewati arak-arakan yang tak ada putusnya, melingkar-lingkar memenuhi badan jalan, sementara yang lain lebih senang mengalah. “Tapi itulah rakyat. Biarkan mereka berpesta,” kata Ketua Cabang berapi-api.

Aku mengerutkan dahi. Kata-kata pesta yang baru saja ia ucapkan seakan menyadarkan aku akan keberadaan orang-orang di sebelah real estate tempat aku tinggal selama ini. Pesta bagi mereka merupakan saat-saat menggantungkan mimpi dan harapan entah kepada siapa, karena selama ini para pemimpin hanya pandai beretorika tanpa mau tahu kapan mereka mewujudkan mimpi-mimpi kaum papa.

Ah, sudahlah! Aku terlalu lelah memikirkan persoalan yang bukan persoalanku. Apakah itu sekadar pelarian rasa kesal, aku sendiri tak tahu. Persoalan orang-orang kampung di sebelah real estate adalah persoalan nasib yang tidak dengan serta-merta dapat diubah hanya dengan atribut dan yel-yel murahan. Aku tersenyum sendiri kala ingatanku melompat kepada Wak Jo, penjual air di kampungku. Hampir setiap kali ada kampanye, ia selalu berhasil mengumpulkan berbagai bendera dengan berbagai ukuran di samping setumpuk kaos dengan gambar-gambar berbeda. Ketika dengan iseng aku menanyakan buat apa kaos-kaos dan bendera itu, dengan santai ia menjawab, “Ah, ndak ada maksud lain kok, Nak. Saya hanya ingin menambah kekayaan yang saya dapat setiap lima tahun sekali.”

Kala itu aku menatapnya heran, jawabnya yang tanpa nada getir sedikit pun tenyata merupakan ekspresi dari akumulasi kekecewaan dalam diri orang-orang macam Wak Jo. “Itulah yang disebut kebesaran hati wong cilik,” kata Bendahara Partai ketika secara bergurau aku menyampaikan hal itu kepadanya. Aku hanya bisa menghela napas, menahan diri terhadap kata-kata politisi kampung tersebut. Mobil terus bergerak menuju lokasi, dan kurang dari setengah jam, sampailah kami.

Panggung itu tidak seberapa lebar, hanya tiga kali tiga meter. Di sebelah kiri dan kanan bagian depan panggung dipasang bendera dalam ukuran besar sehingga terkesan menenggelamkan panggung itu sendiri. Kurang lebih dua meter dari panggung, undangan sudah mengisi kursi-kursi yang disusun berderet-deret. Kebanyakan dari hadirin adalah anak-anak, remaja, serta ibu-ibu yang sebagian besar tampak kerepotan menggendong bayi-bayinya. Sesekali tangis bayi-bayi itu makin membuat bising berbaur dengan hingar-bingarnya musik yang dipasang keras-keras. Kepalaku memberat, sementara mataku berkunang-kunang menyaksikan massa yang makin berjubel di sekitar lokasi.

“Mengapa, kurang sehat? Kuatkan, Anda tampil sebagai pembuka,” Bendahara Partai kembali berbisik kepadaku. Aku hanya mengangguk kecil, rasa sakit di kepala makin menjadi-jadi. Dengan berat hati aku pun melangkah ke atas panggung. Merdeka! Merdeka! Merdeka! Pekikku setengah hati. Aku tak peduli bagaimana sambutan massa, yang penting aku hanya ingin membayar hutangku atas sepasang sepatu dengan berorasi di lokasi ini.

“Halo ibu-ibu, Saudara sekalian, di mana para suami? Mengapa mereka tidak ikut hadir bersama kalian di sini?” teriakku lantang meski aku sendiri tak tahu ke mana arah pertanyaan itu. “Mereka kerja di sawah, Pak. Kalau ikut ke sini kami semua tidak makan!”

Jawaban serempak itu membuat kunang-kunang di mataku makin penuh dan kepalaku serasa mau copot. Demi anak istri, para lelaki harus ke sawah untuk sekadar sesuap nasi, sementara demi sepasang sepatu, aku mesti berdiri di sini dengan berkunang-kunang serta kepala yang makin memberat dan terus memberat, menjual omong kosong yang tak karuan ujung pangkalnya. Kupegang kepalaku dengan kedua tangan dengan tidak lagi menghiraukan bendahara partai yang melotot ke arahku. Aku merasa tidak sanggup lagi bicara ngalor-ngidul tanpa tujuan, karena tiba-tiba para lelaki di desa ini telah menyadarkan aku bahwa tempat mereka lebih tinggi dibanding aku. Kutinggalkan tempat itu dengan menyisakan keheranan dalam diri setiap orang, terutama Bendahara Partai.

Sampai di rumah, kukeluarkan semua tabunganku, kuhitung apakah cukup untuk sepasang sepatu mahal seperti pemberian yang kuterima kemarin dulu. Kini hampir setiap sore usai melaksanakan tugas di kantor, aku selalu menyempatkan diri pergi ke toko sepatu atau ke mall sekadar mencari sepatu yang persis sama seperti yang pernah dikirim Bendahara Partai. Sayang sampai detik ini belum sekalipun aku menemukan sepatu seperti yang kuharapkan.

“Saya kira itu model special edition, edisi special, Pak,” sahut salah seorang pelayan di toko sepatu yang sempat aku kunjungi. Aku benar-benar putus asa.

Aku merasa sepatu itu benar-benar telah mengekangku di suatu tempat tanpa pernah memberiku ruang gerak sedikit pun. Ia telah memenjarakan aku dengan tampilannya yang trendi tanpa pernah menghiraukan perasaan yang tertekan setiap kali manyaksikan ia tergeletak di sembarang tempat.

Kini aku tetap rajin mengunjungi setiap toko sepatu yang ada di kotaku, barangkali bisa menemukan sepasang sepatu yang kuinginkan, demi menebus kebebasanku kembali.

http://kumpulan-cerpen.blogspot.com/2004_08_01_archive.html

Cerpen Zoya Herawati

Sabtu, 16 Oktober 2010

cerpen

Romansa Merah Jambu


Bagi Gadis, menyendiri di tepi danau, menunggu seseorang yang pernah berjanji padanya tidak cuma bingung dan termenung.

Dia pergi ke tepi danau di tengah hutan setelah usai memanen padi ladang bersama Bapak dan Emak. Bila akan pergi ke tepi danau berair biru jernih itu, dia tak lupa membawa beberapa lembar kain belacu putih dan peralatan menyulam. Di keheningan tepi danau tercium olehnya harum bunga mawar hutan. Dia dengar nyanyian burung dan hiruk pikuk kawanan kera. Dia melihat gelepar ekor ikan di permukaan danau. Air beriak bagaikan tersibak. Di atas tebing, daun pepohonan sangat rimbun—bercermin di air danau yang bening.

Sekian tahun silam, menjelang petang, seorang pelukis tua berjanggut lebat, dan putranya datang dari kota ke ladang di tepi hutan itu. Pemuda tampan itu menyetir mobil jip tua dan membantu sang ayah membawa peralatan melukis. Bapak dan Emak Si Gadis mengizinkan Si Pelukis dan putranya memasang tenda di tepi ladang. Perupa itu berniat melukis fauna dan flora di hutan sekitar itu. Dia juga mau melukis peladang, pengail ikan di sekitar danau, mawar hutan, dan pemandangan alam.

Semula, Bapak dan Emak agak ragu untuk mengizinkan Si Pelukis dan putranya mendirikan tenda di tepi ladang mereka. Berkat perilaku santun kedua tamu, hati orangtua Gadis luluh. Keramahtamahan Si Pelukis dan putranya menjadikan mereka cepat akrab. Usia putra Si Pelukis dan Gadis hampir sebaya.

Setelah mendirikan tenda, Si Pelukis minta tolong kepada Emak untuk memasak makanan buat sarapan, makan siang, dan malam—selama mereka bermukin di tepi ladang yang lengang itu. Bapak mengizinkan Emak memasak untuk mereka. Si Pelukis menyerahkan sejumlah uang untuk belanja kepada Emak. Uang itu ditolak Emak. Tetapi, setelah dibujuk berulang-ulang oleh Si Pelukis dengan sabar dan manis, akhirnya uang yang cukup banyak itu diterima Emak. Giliran Gadis menolak uang itu. Katanya, tidak pantas tamu membayar makan kepada tuan dan nyonya rumah. Si Pelukis mengatakan kepada si perawan cantik itu, ”Aku dan putraku bukanlah tamu keluarga di ladang ini. Kami tidak mau membebani keluarga ini. Uang itu tak seberapa. Ya, itu hanya sekadar tanda terima kasih. Kalau pemberian kami itu ditolak, sama dengan keluarga ini tidak ikhlas menerima kami,” lanjut Si Pelukis, lirih.

Setelah Si Pelukis dan putranya masuk tenda, Gadis menggerutu kepada Emak.

”Uang pemberian Si Pelukis itu akan membuat Bapak, Emak, dan aku berutang budi kepada Si Pelukis. Keluarga kecil kita ini bisa disangka mata duitan,” sambungnya. Bapak mengatakan, uang itu sebagai tanda terima kasih. Tidak elok menolak ucapan terima kasih dari seseorang, lanjut Bapak. Sejak saat itu, Gadis diam. Dia pergi ke tepi danau dan menyulam.

Selesai sarapan pagi, esoknya, Si Pelukis mengatakan kepada Bapak, beberapa hari ini, ingin melukis bunga anggrek. Dia mengetahui ada sekitar 30.000 jenis bunga anggrek di seluruh dunia. Tetapi, dari sekian banyak jenis anggrek itu, dia hanya akan melukis beberapa jenis saja. Kemudian, dia menunjukkan kepada Bapak daftar nama puluhan macam bunga anggrek, yakni Anggrek Bambu, Anggrek Bulan, Anggrek Buntut Bajing, Anggrek Congkok Kuning, Anggrek Gebeng, Anggrek Hitam, Anggrek Jambrut, Anggrek Janur, Anggrek Kalajengking, Anggrek Kancil, Anggrek Kasut Belang, Anggrek Kasut Berbulu, Anggrek Kasut Pita, Anggrek KembangGoyang, Anggrek Kepang, Anggrek Lau-Batu, Anggrek Lilin, Anggrek Loreng, Anggrek Mawar, Anggrek Merpati, Anggrek Mutiara, Anggrek Pandan, Anggrek Tanah Kuning, Anggrek Tebu, Anggrek Uncal, dan Anggrek Nan Tongga. Sebagian besar nama anggrek itu masih sangat asing bagi Bapak.

Bapak mengaku sejujurnya, sedikit sekali pengetahuannya mengenai bunga anggrek. Bapak tak menjamin, di hutan sekitar ini terdapat anggrek yang diinginkan Si Pelukis. Sambil tersenyum, Si Pelukis berkata, ”Seberapa adanya sajalah, Pak.”

Selama Si Pelukis dan Bapak mencari bunga anggrek di dalam hutan, Emak memasak di dangau. Gadis dan putra Si Pelukis duduk di tepi danau. Mereka ngobrol dengan seorang pemancing tua, sahabat Gadis. Si Pemancing telah berhasil mengail ikan gabus, lele, gurame, betok, dan mujair. Setelah itu, putra Si Pelukis mengajak Gadis duduk di bawah naungan batang rengas *) besar dan tinggi. Kedua orang muda itu saling menanyakan nama lengkap dan bertukar cerita.

”Namaku Kiagus Muhammad Gindo,” putra Si Pelukis menyebutkan nama lengkapnya. ”Panggil saja aku Gindo,” lanjutnya.

”Namaku Masayu Nurul Indahwati,” kata Gadis malu-malu. ”Biasanya, aku dipanggil Gadis,” ucapnya sambil melipat selembar kain belacu putih yang sedang disulamnya.

”Berapa banyak sarung bantal yang sudah Gadis sulam?” tanya Gindo.

”Lumayan,” jawab Gadis, ”Sulit aku menghitungnya. Sejak kecil aku sudah belajar menjahit dan menyulam pada Emak. Selain menyulam sarung bantal, aku menyulam hiasan dinding untuk pajangan, taplak meja, saputangan, tas kain, dan macam-macam lagi,” cerita Gadis.

”Kau hebat sekali,” puji Gindo.

”Ah, biasa saja,” ujar Gadis.

Gindo terkejut setelah mendengar cerita Gadis tentang kemampuannya membudidayakan ikan patin dan nila. Gadis akan meneliti ikan belida, dalam waktu dekat. Ternyata, Gadis bukanlah perawan dusun yang berpikir kuno dan tradisional. Gindo memberondong Gadis dengan berbagai pertanyaan tentang masa kecil dan masa kininya, tapi tidak berhasil mendapat jawaban sesuai kehendak hatinya. Gadis yang berwajah cantik dan tenang, pemilik mata sebening air danau, tak tak membuka pintu rahasia hatinya. Gindo menyimpulkan, selain pintar, rendah hati, Gadis berkarakter luhur. Gindo secara diam-diam mengagumi kecantikan dan kepribadian Gadis.

Waktu terus berlalu. Si Pelukis telah menyelesaikan lukisan bunga anggrek, satwa liar, danau, peladang, pemancing tua, dan mawar hutan. Terakhir, sebelum pamitan, dia minta izin kepada Bapak dan Emak untuk melukis Gadis dengan latar belakang danau dan kebun tembakau. Kata Bapak dan Emak, terserah pada Gadis. Mengejutkan sekali, Gadis menolak jadi model. Dia merasa tidak berminat dan tak berbakat. Dia juga malu, bila wajah dan tubuhnya diabadikan di kain kanvas, kemudian akan dipamerkan di hadapan para kolektor dan penggemar seni lukis di kota-kota besar. Si Pelukis tak putus asa. Dia membujuk Gadis dengan menawarkan sejumlah uang sebagai honorarium. Iming-iming itu tak mengubah pendirian Gadis.

”Maafkan aku, Pak Pelukis,” kata Gadis sopan. ”Bagaimana mungkin Gadis melakukan pekerjaan yang berbeda dengan kata hati? Bila gadis memaksakan diri menjadi model lukisan Bapak, aku yakin lukisan itu tidak akan berjiwa,” lanjutnya tegas, tapi sopan. Kata-kata Gadis, itu menambah kagum Gindo kepadanya. Di dalam hati, Gindo kurang setuju, Gadis menjadi model lukisan ayahnya. Tumbuh benih cemburu di hati pemuda kritis itu.

”Tak apa-apa kalau Gadis keberatan,” kata Si Pelukis. ”Aku tak hendak memaksa,” lanjutnya, berupaya menyembunyikan rasa kecewanya.

Gadis usul kepada Si Pelukis agar melukis sosok dirinya di dalam imajinasi, tetap berlatar belakang danau, atau ketika dirinya sedang memandang sekuntum mawar hutan. Lukisan berdasarkan imajinasi, kata Gadis mungkin akan lebih indah dan berjiwa dibanding yang natural. Si Pelukis tersentak. Dia tersindir. Dia sadar, dirinya bukanlah tukang gambar. Ali adalah seniman lukis, atau perupa berpengalaman, kata hatinya. Saran Gadis diterimanya dengan jiwa besar. Si Pelukis mengangguk-anggukkan kepala sambil menatap wajah Gadis yang ayu, lembut keibuan, dan selalu tampil alami. Bersahaja saja dia. Saat itu pula, Si Pelukis terkenang pada 0lga, istrinya yang sudah lama tiada.

***

Kehadiran Si Pelukis dan putranya beberapa tahun silam dikenang Gadis sambil menyulam di tepi danau. Senja kali ini bergerimis. Pelangi melengkung di seberang sana danau. Gadis membayangkan tujuh bidadari turun meniti pelangi. Para putri kayangan itu mandi berkecipung di air danau—yang kemerahan disinari matahari senja—semerah isi semangka. Pelangi dan bidadari pun menjadi inspirasi bagi Gadis untuk menyulam. Senja itu, Gadis menyulam sekuntum mawar hutan di selembar kain belacu putih. Dia sangat cemas apabila seluruh hutan dan ladang Bapak kelak menjadi lahan kebun kelapa sawit, tak akan ditemukan lagi mawar hutan. Itulah sebabnya Gadis mengabadikan mawar hutan di dalam beberapa sulaman untuk hiasan dinding. Salah satu sulaman bunga mawar hutan, khusus disediakannya untuk Gindo.

Ketika pamitan, dulu, Gindo mengatakan, awal tahun depan akan menemui Gadis di tepi danau. Sekian lama, Gadis setia menunggu, tapi Gindo tak kunjung datang. Penanggalan di dinding dangau telah diganti Bapak dengan kalender baru, Gindo belum juga datang. Gadis segera kembali ke kota, sehabis cuti tahunan, melanjutkan penelitian ikan belida untuk gelar S2-nya. Si pemancing tua, berjenggot putih, sahabat Gadis di tepi danau merasa sepi setelah Gadis pergi.

Gindo tak berniat melanggar janji kepada Gadis. Musibah telah menimpa Si Pelukis gaek, ayahnya. Jip yang dikendarainya masuk jurang, ketika meneruskan pengembaraan sendirian untuk melukis Bukit Barisan. Lelaki tua pemberani itu tewas di tempat kejadian. Gindo berhalangan menemani ayahnya karena sedang mengikuti ujian S2—jurusan ilmu komunikasi di ibu kota provinsi. Mengenai musibah itu, Gindo telah mengirim e-mail kepada Gadis. Pada bagian akhir e-mail itu, Gindo menulis:

”Gadis yang baik. Kini, aku sudah yatim piatu. 0lga, ibuku, yang asal Rusia meninggal 27 tahun lalu, setelah aku lahir. Ayah tidak pernah menikah lagi karena setia, dan sangat cinta pada Ibu. Bila rindu pada Ibu, Ayah ziarah ke makamnya berlama-lama. Aku janji, 40 hari setelah Ayah wafat, aku segera menemuimu di danau. Banyak yang ingin kukatakan kepadamu. Gadis, Ketahuilah, di dalam diriku sedang menguntum romansa merah jambu. Sampai di sini dulu, ya? Salam. Gindo selalu merindukanmu.” Pesan itu tak sampai karena laptop milik Gadis sedang mengalami error.

Di ujung tahun, Gindo menyetir jip tua peninggalan ayahnya menuju danau. Dia tercengang di depan pagar besi tinggi berkawat duri. Dirasakannya pagar yang menghadang itu sangat angkuh. Ladang dan hutan tak tampak lagi. Tanaman kelapa sawit muda setinggi lutut—terbentang di depannya seluas mata memandang. Danau makin sunyi. Pemancing tua entah berada di mana? Tak ada lagi pepohonan tinggi yang berdaun rimbun di sekitar danau itu. Gindo tidak diizinkan masuk lokasi perkebunan sawit oleh petugas keamanan berseragam hijau-loreng. Para petugas keamanan itu tidak dapat menjawab pertanyaan Gindo, ”Di mana Emak, Bapak, dan Gadis, setelah hutan, dan ladang mereka digusur?

(Mengenang Tanjung Serian, dusun Bapak, Kepur, dusun Emak, dan Tanjung Raman, dusun Taufik Kiemas—di tepi Sungai Lematang).

http://cerpenkompas.wordpress.com/2010/09/19/romansa-merah-jambu/#more-1112

Jumat, 15 Oktober 2010

artikel

Sopir Taksi Baru Kerja
Kejadian ini terjadi hari Senin lalu, sebut saja namanya, Susi. Karena ada kerjaan yang tidak bisa ditinggal, Susi harus bekerja sampai larut malam dikantornya. Ketika ingin pulang Susi menyetop taksi untuk mengantarnya pulang.
"Kebon Jeruk ya Pak"

Sopir taksi itu hanya menggangguk, selama perjalanan tidak terjadi percakapan antara Susi dan Sopir Taksi, mungkin Susi merasa capek karena bekerja sampai larut malam. 20 menit lamanya keheningan terjadi, tiba-tiba Susi ingat bahwa uang yang dibawanya kurang untuk membayar ongkos taksi. Susi lalu menepuk pundak Sopir taksi dengan maksud berhenti dulu didepan untuk mengambil uang di ATM.

Tapi tiba2 setelah pundaknya ditepuk oleh Susi, Sopir taksi itu secara membabi buta membanting setirnya ke kanan kemudian ke kiri sambil berteriak secara histeris, sampai akhirnya taksi itu menabrak sebuah pohon.

Untung Susi dan Sopir Taksinya tidak mengalami luka yang cukup parah. Sopir Taksi itu kemudian meminta maaf kepada Susi
"Maaf ya Bu, Ibu nggak apa-apa? Ibu sih make nepuk pundak saya, kagetnya setengah mati bu!!"
"Lho, masa sih ditepuk pundaknya aja kaget??"
"Soalnya ini hari pertama saya jadi sopir Taksi, Bu"
"Emangnya pekerjaan bapak sebelumnya apa??"
"Selama 20 tahun saya jadi SOPIR MOBIL JENAZAH..."


www.dexton.adexindo.com

Selasa, 12 Oktober 2010

Penulisan Singkatan dan Akronim

Pedoman umum untuk penulisan singkatan dan akronim:

1. Singkatan adalah bentuk yang dipendekkan yang terdiri dari satu huruf atau lebih.

1. Singkatan nama orang, gelar, sapaan, jabatan, atau pangkat diikuti dengan tanda titik.

2. Singkatan nama resmi lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, badan/organisasi, serta nama dokumen resmi yang terdiri atas huruf awal kata ditulis dengan huruf kapital tanpa tanda titik.

3. Singkatan umum yang terdiri dari tiga huruf atau lebih diikuti satu tanda titik. Tetapi, singkatan umum yang terdiri hanya dari dua huruf diberi tanda titik setelah masing-masing huruf.

4. Lambang kimia, singkatan satuan ukur, takaran, timbangan, dan mata uang asing tidak diikuti tanda titik.

2. Akronim adalah singkatan yang berupa gabungan huruf awal, suku kata, ataupun huruf dan suku kata dari deret kata yang diperlakukan sebagai kata.

1. Akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.

2. Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal kapital.

3. Akronim yang bukan nama diri yang berupa gabungan huruf, suku kata, ataupun huruf dan suku kata dari deret kata ditulis seluruhnya dengan huruf kecil.


http://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Pedoman_penulisan_singkatan_dan_akronim

Senin, 11 Oktober 2010

ROBOT

Di dunia ini tidak ada satu orang pun yang dapat melakukan semua pekerjaan hanya dengan sepasang tangan, maka dari itu saya sangat ingin ada sebuah alat yang bisa membantu sebagian, bahkan jika bisa semua pekerjaan saya .
Mungkin ROBOT bisa saya kategorikan sebagai alat yang dapat membantu sebagian pekerjaan saya. Saya sangat ingin robot yang dapat saya kendalikan hanya dengan satu jari telunjuk saya.
Saya juga menginginkan ada rabot yang bisa menghasilkan uang tanpa harus menguras tenaga manusia, dan juga dapat membersikan tempat “kost” saya.. jika seandainya robot saya sudah tidak menuruti perintah saya , saya akan mencabut batu batrainya. Dan robot pun tidak bisa berfungsi, kemudian saya cari lagi robot yang baru.
Selanjut nya robot itu dapat menemani saya jika saya sedang berbelanja dan robot tersebut akan membawa barang-barang belanjaan saya. Jika sudah selesai robot tersebut akan berubah menjadi mobil yang mewah tanpa harus berpanas-panasan dan berdesakan naik kendaraan umum. Saya juga ingin robot tersebut dapat membersikan alam sekitar kita dan mencega global warming agar kita terhindar dari bencana alam, mungin semua ini dapat dilakukan hanya dengan 1 ROBOT saja.

Kata Ganti

1. Kata ganti orang. Terbagi tiga dan dapat bersifat tunggal maupun jamak.
1. Kata ganti orang pertama. Misalnya: saya, aku, kami, kita.
2. Kata ganti orang kedua. Misalnya: engkau, kamu, kalian.
3. Kata ganti orang ketiga. Misalnya: dia, beliau, mereka.
2. Kata ganti pemilik. Misalnya -ku, -mu, -nya.
3. Kata ganti penanya; berfungsi menanyakan benda, waktu, tempat, keadaan, atau jumlah. Misalnya apa, kapan, ke mana, bagaimana, berapa.
4. Kata ganti petunjuk. Misalnya ini, itu.
5. Kata ganti penghubung. Misalnya yang.
6. Kata ganti tak tentu. Misalnya barang siapa.

http://id.wikipedia.org/wiki/Pronomina